Cerita Rakyat Tapsel
Kamis, 16 Januari 2014
Cerita Rakyat Sumatera Utara : Legenda Namora Pande Bosi
Selama berabad-abad lamanya dan sampai sekarang masyarakat Mandailing mempercayai bahawa Namora Pande Bosi adalah nenek moyang orang-orang Mandailing yang bermarga Lubis.
Menurut legendanya, Namora Pande Bosi berasal dari Bugis di Sulawesi Selatan. Dalam pengembaraannya dia sampai ke satu tempat yang bernama Sigalangan di Tapanuli Selatan. Kemudian dia berkahwin dengan puteri raja di tempat tersebut dan terkenal sebagai pandai besi yang mulia. Namora Pande Bosi dan isterinya yang bergelar Nan Tuan Layan Bolan mendapat dua orang anak lelaki yang diberi nama Sutan Borayun dan Sutan Bugis. Pada suatu ketika Namora Pande Bosi pergi meyumpit burung ke tengah hutan dan di sana dia bertemu dengan seorang puteri orang bunian dan mengahwininya. Menurut satu cerita, wanita itu adalah orang Lubu (orang asli). Dari perkahwinannya itu, Namora Pande Bosi mendapat dua orang anak lelaki kembar yang masing-masing diberi nama Si Langkitang dan Si Baitang. Ketika kedua anak tersebut masih dalam kandungan, Namora Pande Bosi meninggalkan isterinya dan kembali ke Hatongga. Menjelang dewasa Si Langkitang dan Si Baitang pergi mencari bapa mereka dan menemukannya di Hatongga. Lalu mereka tinggal bersama keluarga bapa mereka di tempat tersebut. Tidak beberapa lama kemudian, terjadilah perselisihan antara anak-anak Namora Pande Bosi itu dengan anak-anaknya bersama puteri raja Sigalangan. Maka Namora Pande Bosi menyuruh anaknya Si Langkitang dan Si Baitang meninggalkan Hatongga. Mereka disuruhnya pergi ke daerah Mandailing dan jika mereka menemukan tempat di mana terdapat dua sungai yang mengalir dari dua arah yang tepat bertentangan (dalam bahasa Mandailing dinamakan muara patontang) di situlah mereka membuka tempat pemukiman baru. Setelah lama mengembara akhirnya Si Langkitang dan Si Baitang menemukan muara patontang, lantas mereka membuka pemukiman baru di tempat itu. Tidak lama setelah ditinggalkan anaknya Si Langkitang dan Si Baitang, Namora Pande Bosi meninggal dunia dan dimakamkan di Hatongga. Makam tersebutlah yang akan dipugar. Isterinya Nan Tuan Layan Bolon yang meninggal kemudian dimakamkan di satu tempat yang bernama Hombang Bide, kurang lebih 2km dari Hatongga. Makamnya masih ada di situ sampai sekarang. Semua keturunan Si Langkitang dan Si Baitang yang menyebar di seluruh tanah Mandailing dan di tempat-tempat lain dikenali sebagai orang-orang Mandailing yang bermarga Lubis. Dalam tarombo marga Lubis yang disusun oleh Raja Junjungan pada tahun 1897, ada juga tercatat bahawa nama isteri Namora Pande Bosi ialah Boru Dalimunte Naparila, artinya puteri Dalimnte yang pemalu. Makam Namora Pande Bosi Dengan petunjuk dari keturunan raja Sigalangan, Makam Namora Pande Bosi ditemukan pada tahun 1963 di Hatongga. Makam tokoh legendaris yang sangat terkenal itu terletak di tengah persawahan penduduk setempat. Makam tersebut berada kurang lebih 2km jauhnya dari Jalan Raya Lintas Sumatra yang melalui desa Sigalangan, kurang lebih 14km jauhnya dari kota Padang Sidimpuan (ibu kota Kabupaten Tapanuli Selatan). Atas usaha sejumlah orang Mandailing bermarga Lubis, kurang lebih 1.6km panjangnya jalan dari desa Sigalangan ke arah makam Namora Pande Bosi sudah dibangunkan sehingga dapat ditempuh dengan kenderaan bermotor (kereta). Tetapi jalan menuju ke makam tersebut, yang panjangnya kurang lebih 232 meter masih harus dibangun supaya dapat dilalui dengan berjalan kaki atau dengan menggunakan kenderaan. Jika jalan yang panjangnya kurang lebih 232 meter tersebut sudah dibangun, maka para penziarah yang selalu banyak berdatangan mengunjungi Namora Pande Bosi, di antaranya dari Malaysia, akan mudah mendatangi makam yang dimuliakan itu. Menurut rencana jalan yang panjangnya 232 meter itu akan dibangun dengan lebar 3 meter.
Asal Mula Danau Si Losung Dan Si Pinggan
Alkisah,
pada zaman dahulu di daerah Silahan, Tapanuli Utara, hiduplah sepasang
suami-istri yang memiliki dua orang anak laki-laki. Yang sulung bernama Datu
Dalu, sedangkan yang bungsu bernama Sangmaima. Ayah mereka adalah seorang ahli
pengobatan dan jago silat. Sang Ayah ingin kedua anaknya itu mewarisi keahlian
yang dimilikinya. Oleh karena itu, ia sangat tekun mengajari mereka cara meramu
obat dan bermain silat sejak masih kecil, hingga akhirnya mereka tumbuh menjadi
pemuda yang gagah dan pandai mengobati berbagai macam penyakit.
Pada
suatu hari, ayah dan ibu mereka pergi ke hutan untuk mencari tumbuhan
obat-obatan. Akan tetapi saat hari sudah menjelang sore, sepasang suami-istri
itu belum juga kembali. Akhirnya, Datu Dalu dan adiknya memutuskan untuk
mencari kedua orang tua mereka. Sesampainya di hutan, mereka menemukan kedua
orang tua mereka telah tewas diterkam harimau.
Dengan
sekuat tenaga, kedua abang-adik itu membopong orang tua mereka pulang ke rumah.
Usai acara penguburan, ketika hendak membagi harta warisan yang ditinggalkan
oleh orang tua mereka, keduanya baru menyadari bahwa orang tua mereka tidak
memiliki harta benda, kecuali sebuah tombak pusaka. Menurut adat yang berlaku
di daerah itu, apabila orang tua meninggal, maka tombak pusaka jatuh kepada
anak sulung. Sesuai hukum adat tersebut, tombak pusaka itu diberikan kepada
Datu Dalu, sebagai anak sulung.
Pada
suatu hari, Sangmaima ingin meminjam tombak pusaka itu untuk berburu babi di
hutan. Ia pun meminta ijin kepada abangnya.
“Bang,
bolehkah aku pinjam tombak pusaka itu?”
“Untuk
keperluan apa, Dik?”
“Aku
ingin berburu babi hutan.”
“Aku
bersedia meminjamkan tombak itu, asalkan kamu sanggup menjaganya jangan sampai
hilang.”
“Baiklah,
Bang! Aku akan merawat dan menjaganya dengan baik.”
Setelah
itu, berangkatlah Sangmaima ke hutan. Sesampainya di hutan, ia pun melihat
seekor babi hutan yang sedang berjalan melintas di depannya. Tanpa berpikir
panjang, dilemparkannya tombak pusaka itu ke arah binatang itu. “Duggg…!!!”
Tombak pusaka itu tepat mengenai lambungnya. Sangmaima pun sangat senang,
karena dikiranya babi hutan itu sudah roboh. Namun, apa yang terjadi? Ternyata
babi hutan itu melarikan diri masuk ke dalam semak-semak.
“Wah,
celaka! Tombak itu terbawa lari, aku harus mengambilnya kembali,” gumam
Sangmaima dengan perasaan cemas.
Ia
pun segera mengejar babi hutan itu, namun pengejarannya sia-sia. Ia hanya
menemukan gagang tombaknya di semak-semak. Sementara mata tombaknya masih
melekat pada lambung babi hutan yang melarikan diri itu. Sangmaima mulai panik.
“Waduh,
gawat! Abangku pasti akan marah kepadaku jika mengetahui hal ini,” gumam
Sangmaima.
Namun,
babi hutan itu sudah melarikan diri masuk ke dalam hutan. Akhirnya, ia pun
memutuskan untuk kembali ke rumah dan memberitahukan hal itu kepada Abangnya.
“Maaf,
Bang! Aku tidak berhasil menjaga tombak pusaka milik Abang. Tombak itu terbawa
lari oleh babi hutan,” lapor Sangmaima.
“Aku
tidak mau tahu itu! Yang jelas kamu harus mengembalikan tombok itu, apa pun
caranya,” kata Datu Dalu kepada adiknya dengan nada kesal.”
Baiklah,
Bang! Hari ini juga aku akan mencarinya,” jawab Sangmaima.
“Sudah,
jangan banyak bicara! Cepat berangkat!” perintah Datu Dalu.
Saat
itu pula Sangmaima kembali ke hutan untuk mencari babi hutan itu. Pencariannya
kali ini ia lakukan dengan sangat hati-hati. Ia menelesuri jejak kaki babi
hutan itu hingga ke tengah hutan. Sesampainya di tengah hutan, ia menemukan
sebuah lubang besar yang mirip seperti gua. Dengan hati-hati, ia menyurusi
lubang itu sampai ke dalam. Alangkah terkejutnya Sangmaima, ternyata di dalam
lubang itu ia menemukan sebuah istana yang sangat megah.
“Aduhai,
indah sekali tempat ini,” ucap Sangmaima dengan takjub.
“Tapi,
siapa pula pemilik istana ini?” tanyanya dalam hati.
Oleh
karena penasaran, ia pun memberanikan diri masuk lebih dalam lagi. Tak jauh di
depannya, terlihat seorang wanita cantik sedang tergeletak merintih kesakitan
di atas pembaringannya. Ia kemudian menghampirinya, dan tampaklah sebuah mata
tombak menempel di perut wanita cantik itu. “Sepertinya mata tombak itu milik
Abangku,” kata Sangmaima dalam hati. Setelah itu, ia pun menyapa wanita cantik
itu.
“Hai,
gadis cantik! Siapa kamu?” tanya Sangmaima.
“Aku
seorang putri raja yang berkuasa di istana ini.”
“Kenapa
mata tombak itu berada di perutmu?”
“Sebenarnya
babi hutan yang kamu tombak itu adalah penjelmaanku.”
“Maafkan
aku, Putri! Sungguh aku tidak tahu hal itu.”
“Tidak
apalah, Tuan! Semuanya sudah terlanjur. Kini aku hanya berharap Tuan bisa
menyembuhkan lukaku.”
Berbekal
ilmu pengobatan yang diperoleh dari ayahnya ketika masih hidup, Sangmaima mampu
mengobati luka wanita itu dengan mudahnya. Setelah wanita itu sembuh dari
sakitnya, ia pun berpamitan untuk mengembalikan mata tombak itu kepada
abangnya.
Abangnya
sangat gembira, karena tombak pusaka kesayangannya telah kembali ke tangannya.
Untuk mewujudkan kegembiraan itu, ia pun mengadakan selamatan, yaitu pesta adat
secara besar-besaran. Namun sayangnya, ia tidak mengundang adiknya, Sangmaima,
dalam pesta tersebut. Hal itu membuat adiknya merasa tersinggung, sehingga
adiknya memutuskan untuk mengadakan pesta sendiri di rumahnya dalam waktu yang bersamaan.
Untuk memeriahkan pestanya, ia mengadakan pertunjukan dengan mendatangkan
seorang wanita yang dihiasi dengan berbagai bulu burung, sehingga menyerupai
seekor burung Ernga. Pada saat pesta dilangsungkan, banyak orang yang datang
untuk melihat pertunjukkan itu.
Sementara
itu, pesta yang dilangsungkan di rumah Datu Dalu sangat sepi oleh pengunjung.
Setelah mengetahui adiknya juga melaksanakan pesta dan sangat ramai
pengunjungnya, ia pun bermaksud meminjam pertunjukan itu untuk memikat para
tamu agar mau datang ke pestanya.
“Adikku!
Bolehkah aku pinjam pertunjukanmu itu?”
“Aku
tidak keberatan meminjamkan pertunjukan ini, asalkan Abang bisa menjaga wanita
burung Ernga ini jangan sampai hilang.”
“Baiklah,
Adikku! Aku akan menjaganya dengan baik.”
Setelah
pestanya selesai, Sangmaima segera mengantar wanita burung Ernga itu ke rumah
abangnya, lalu berpamitan pulang. Namun, ia tidak langsung pulang ke rumahnya,
melainkan menyelinap dan bersembunyi di langit-langit rumah abangnya. Ia
bermaksud menemui wanita burung Ernga itu secara sembunyi-sembunyi pada saat
pesta abangnya selesai.
Waktu
yang ditunggu-tunggu pun tiba. Pada malam harinya, Sangmaima berhasil menemui
wanita itu dan berkata:
“Hai,
Wanita burung Ernga! Besok pagi-pagi sekali kau harus pergi dari sini tanpa
sepengetahuan abangku, sehingga ia mengira kamu hilang.”
“Baiklah,
Tuan!” jawab wanita itu.
Keesokan
harinya, Datu Dalu sangat terkejut.
Wanita
burung Ernga sudah tidak di kamarnya. Ia pun mulai cemas, karena tidak berhasil
menjaga wanita burung Ernga itu. “Aduh, Gawat! Adikku pasti akan marah jika
mengetahui hal ini,” gumam Datu Dalu. Namun, belum ia mencarinya, tiba-tiba
adiknya sudah berada di depan rumahnya.
“Bang!
Aku datang ingin membawa pulang wanita burung Ernga itu.
Di
mana dia?” tanya Sangmaima pura-pura tidak tahu.
“Maaf
Adikku! Aku telah lalai, tidak bisa menjaganya. Tiba-tiba saja dia menghilang
dari kamarnya,” jawab Datu Dalu gugup.
“Abang
harus menemukan burung itu,” seru Sangmaima.
“Dik!
Bagaimana jika aku ganti dengan uang?” Datu Dalu menawarkan.
Sangmaima
tidak bersedia menerima ganti rugi dengan bentuk apapun. Akhirnya pertengkaran
pun terjadi, dan perkelahian antara adik dan abang itu tidak terelakkan lagi.
Keduanya pun saling menyerang satu sama lain dengan jurus yang sama, sehingga
perkelahian itu tampak seimbang, tidak ada yang kalah dan menang.
Datu
Dalu kemudian mengambil lesung lalu dilemparkan ke arah adiknya. Namun sang
Adik berhasil menghindar, sehingga lesung itu melayang tinggi dan jatuh di
kampung Sangmaima. Tanpa diduga, tempat jatuhnya lesung itu tiba-tiba berubah
menjadi sebuah danau. Oleh masyarakat setempat, danau tersebut diberi nama
Danau Si Losung.
Sementara
itu, Sangmaima ingin membalas serangan abangnya. Ia pun mengambil piring lalu
dilemparkan ke arah abangnya. Datu Dalu pun berhasil menghindar dari lemparan
adiknya, sehingga piring itu jatuh di kampung Datu Dalu yang pada akhirnya juga
menjadi sebuah danau yang disebut dengan Danau Si Pinggan.
Demikianlah
cerita tentang asal-mula terjadinya Danau Si Losung dan Danau Si Pinggan di
daerah Silahan, Kecamatan Lintong Ni Huta, Kabupaten Tapanuli Utara.
Cerita
di atas termasuk ke dalam cerita rakyat teladan yang mengandung pesan-pesan
moral. Ada dua pesan moral yang dapat diambil sebagai pelajaran, yaitu agar
tidak bersifat curang dan egois.
-
sifat curang. Sifat ini tercermin pada sifat Sangmaima yang telah menipu
abangnya dengan menyuruh wanita burung Ernga pergi dari rumah abangnya secara
sembunyi-sembunyi, sehingga abangnya mengira wanita burung Ernga itu hilang. Dengan
demikian, abangnya akan merasa bersalah kepadanya.
-
sifat egois. Sifat ini tercermin pada perilaku Sangmaima yang tidak mau
memaafkan abangnya dan tidak bersedia menerima ganti rugi dalam bentuk apapun
dari abangnya.
note:
Ernga – kumbang hijau yang menyerupai burung, yang sangat nyaring suaranya
ketika menjerit pada waktu maghrib.
Langganan:
Postingan (Atom)